#NoComplaintWeek berakhir sudah di Minggu malam ini…(iya, gw tau kelarnya resminya tengah malem nanti – tapi masak udah malem gini masih mau ngeluh? Eh bisa aja ya?)
Seminggu yang lalu, di hari Minggu sore, ide ini tercetus, untuk menjalani 7 hari tanpa mengeluh. Dari iseng mengetwit ide ini sebagai “proyek pribadi”, karena sambutan dari beberapa follower, jadilah inisiatif ini dibuat “go public”, di mana orang-orang lain boleh bergabung dan ikut berbagi cerita.
Dan ternyata sambutan yang gw terima (di awal) cukup meriah. Banyak yang menyatakan mau bergabung. Di Hari Pertama banyak yang memberikan komen di blog ini, menyatakan antusiasme. Komennya saja mencapai 70 lebih!
Tentunya, seperti bisa diduga, pelan-pelan suara-suara tersebut makin berkurang seiring berjalannya hari lepas hari. Di akhir hari keenam, sudah kurang dari 15 komen, hihihi. Gw sih sudah menduga akan terjadi “seleksi alam”, layaknya dengan semua niatan manusia. Tetapi yang menghibur selalu ada beberapa peserta yang aktif mengupdate dan berbagi perjuangan mereka menahan keluh selama seminggu. Dan kisah-kisah mereka banyak yang konyol, lucu, inspiratif, dan ada yang mengharukan.

(grafik “web view” #NoComplaintWeek- perhatikan drop tajam sesudah Hari ke-3 :D)
Ada beberapa “pelajaran” yang gw petik dari pengalaman pribadi dan cerita teman-teman selama #NoComplaintWeek ini:
1. Kita mampu menjadi “sadar” akan keluhan kita. Bagi banyak orang, mengeluh itu sudah menjadi insting, spontan, automatis. Ketika situasi tidak seperti yang kita kehendaki, maka secara otomatis berbagai kata keluhan dan umpatan keluar – tanpa dipikir. Saat menjalani 7 hari ini, ternyata kita mampu untuk sadar akan ini dan menjadikan keluhan sedikit lebih sulit untuk telontar.
2. Kita menyadari bahwa kita BISA untuk tidak mengeluh. Lanjutan dari poin di atas, sesudah kita mulai “ngeh” (conscious) tentang hasrat mengeluh kita, ternyata kita semua bisa mengerem mulut. Dan banyak cerita temen-temen yang juga baru menyadari bahwa mereka semua punya kemampuan itu.
3. Gimana dengan negative thinking? Ada yang menanyakan bagaimana dengan soal mengeluh dalam hati. Ada juga yang bahkan mengusulkan ada project lanjutan dengan “no negative thinking”. Gw ga seambisius itu. Sederhananya begini: Gw percaya kita memulai perubahan dari hal-hal yang lebih simpel, dan actionable. Negative thinking jelas susah untuk dikendalikan, karena sifatnya pikiran, di dalam otak, sering tercetus spontan. Tetapi aksi mengeluh, itu bersifat “tindakan”, entah itu ngomel di bibir, atau ngomel di Twitter/FB. Yang ini relatif “lebih mudah” distop atau dikurangi. Jadi mari mulai dari yang lebih gampang.
Lagipula, ada gak yang merasa seiring dengan tidak mengeluh, pikirannya juga ikut? Ada saat-saat gw merasa ketika mulut gak ngomel, tiba-tiba pikiran seperti terbawa. Ketika teman kerja masuk dengan masalah, gw menggigit bibir untuk tidak mengeluh, dan di kepala pun yang terpikir hanya “Ya udah, dikerjain aja deh”. Ada teman-teman lain yang punya pengalaman yang sama?
Ini mengingatkan gw tentang penemuan menarik soal hubungan mood dan ekspresi. Selama ini tentu kita maklum kalau suasana hati mempengaruhi wajah. Kalau kita hepi, ya kita senyum. Kalo kita bete, ya kita cemberut. Wajar kan? Tapi yang mengejutkan adanya penemuan bahwa hubungan antara mood dan ekspresi ini mungkin DUA ARAH. Jadi ketika senyum dipaksa sekalipun, itu bisa mempengaruhi mood. Hebat yah? Mungkin karena itu ketika saya tidak mengeluh, maka mood pun terpengaruh, dan problem kerjaan jadi tidak terasa seberat itu.
Dari kisah temen-temen, macem-macem “strategi” untuk tidak mengeluh: “Nyengir”adalah salah-satunya. Saat gw berhadapan dengan situasi menyebalkan dan “kampret” udah di ujung lidah, ya gw maksa nyengir aja, bahkan kadang-kadang sampe ngakak saking berusaha nahannya. Tapi dari nyengir dan ngakak itu gw jadi ngerasa “it’s not that bad kok”.
Strategi lain adalah “mencari angle” dari situasi nyebelin ini. Ada yang share harus berdiri lama di kereta, terus mikirnya “Ah. anggep aja lagi latihan berdiri pas menikah” :D. Itu contoh mencari angle positif.
“Melihat ke bawah” juga strategi lain – mencari alasan bersyukur dengan membandingkan ke orang lain yang lebih susah. Pesen makan rasanya gak enak? “Masih ada orang lain yang gak makan”. Kerjaan sibuk gak abis2? “Masih ada orang lain yang susah cari kerjaan”, dll. Ini juga lumayan efektif. Atau strategi “Jawa” yang sebutannya “masih untung…”
“Lapor teman” juga dilakukan banyak partisipan lain. Atau even better, melakukan NoComplaintWeek bersama-sama teman main. Intinya: kelilingilah dirimu dengan teman yang positif, karena akan menular. Sama juga dengan ada di sekitar pengeluh…kemungkinan besar kita akan tertular.
“Membesarkan hal2 positif walaupun kecil”. Ada hal-hal kecil yang positif yang kita take for granted. Kalau kita merenunginya, itu juga membantu. Ada cerita partisipan yang merasa hepi dengan menikmati sepiring siomay, dan menyadari kebahagiaan bisa datang dari hal-hal kecil. Walaupun ini tidak langsung mengenai komplain, tapi bisa jadi “antidot” terhadap situasi remeh sumber keluhan.
Membaca banyak cerita temen2 yang berhasil mengerem keluhan selama #NoComplaintWeek, it makes me feel good to read how people feel trumphant/menang over themselves. Bangga. Hanya dengan inisiatif kecil ini bikin orang lain merasa “kuat” melawan dirinya sendiri. Gw jadi inget kata2 temen kantor gw Mita (@sillysampi): “You are stronger than you think you are”. (Kita sebenarnya lebih kuat dari pendapat kita sendiri). Ini bener banget.
Gw dapet kiriman “gambar” ini dari Ranum di akhir No Complaint Week (gw KEBERATAN tentang tulisan di kaos gw di gambar itu!!). Seneng deh rasanya – thanks Ranum! 😀

Apa sih yang gw cari?
Jadi apa yang gw cari dengan project ini? Apa gw mau mencoba menjadi manusia tanpa keluhan sama sekali?
Jawabnya: Tentu tidak. Karena tidak mungkin. Dan tidak perlu.
Tidak mungkin dihilangkan sama sekali, karena mengeluh adalah bagian inheren dari human nature. Tidak akan mungkin dilenyapkan sama sekali.
Dan tidak perlu juga dihilangkan sama sekali. Karena mengeluh sehat itu awal dari perubahan yang lebih baik. Kita bisa mulai memperbaiki karena menyadari ada sesuatu yang kurang/keliru.
Tetapi yang gw targetkan adalah keluhan yang berlebihan, yang tidak perlu, yang tidak membawa perubahan, atau keluhan tentang hal-hal remeh/sepele. Semua ini toh tidak membawa apa-apa, selain menghabiskan energi, memperburuk mood, dan menyebalkan orang sekitar. #NoComplaintWeek bertujuan sebagai “detoks” mental, dan juga melatih kita melawan tendensi mengeluh yang tidak perlu.
Dan akhirnya, untuk gw sendiri dan semua temen2 yang menjalaninya, adalah menyadari bahwa kita punya PILIHAN. Saat gw cerita soal inisiatif #NoComplaintWeek ini, banyak yang bilang “Ah, gw gak bakal bisa….”. Tetapi banyak juga yang mau mencoba. Dan sebagian dari yang mencoba ini akhirnya menyadari bahwa mengeluh itu bukan nasib, takdir, di luar kekuasaan kita. Mengeluh adalah pilihan.
Dan gw jadi teringat kisah Viktor Frankl, survivor Holocaust saat Perang Dunia ke II. Beliau dikirim ke kamp konsentrasi Nazi, di mana istri, ayah, dan ibunya semuanya mari di sana. Dalam bukunya “Men’s Search for Meaning”, Frankl berkata bahwa tentara Nazi bisa merenggut semua kemerdekaannya sebagai seorang tawanan kamp konsentrasi. Tetapi ada satu “kemerdekaan” yang tidak bisa direnggut, yaitu kemerdekaannya untuk MERESPON situasi yang menimpanya. Apakah dia akan menjadi putus-asa dan frustrasi, itu ada di tangannya sendiri, bukan di tangan Nazi. Dan dari situ Viktor Frankl bertahan atas penderitaannya, sampai ia dibebaskan oleh tentara Amerika.
Kita semua tidak akan menjalani penderitaan seperti yang dihadapi Viktor Frankl. Tetapi prinsip beliau tetap sama. Respon kita terhadap sebuah situasi ada di tangan kita sendiri. Dan karena itulah, mengeluh adalah pilihan.
What’s Next?
Ada yang nanya, #NoComplaintWeek akan ada lanjutannya gak? Well, dari awal project ini sudah disiapkan untuk selesai cukup seminggu, tidak lebih, tidak kurang. Tetapi ini kan adalah project pribadi. Tentunya teman-teman yang mau melanjutkan sendiri bebas untuk melakukannya 🙂
Tetapi pertanyaan gw: Sebenarnya perlukah #NoComplaintWeek ini “dilanjutkan” dengan sebuah project khusus? Dengan hashtag khusus #NoComplaintWeek? Atau teman-teman sebenarnya bisa tetap tidak mengeluh – tanpa “project”, tanpa blog, tanpa hashtag, tanpa gw – di hari-hari ke depan? 🙂
Selamat menjalani hari esok! 🙂
Catatan tentang blog:
Terima kasih untuk SEMUA yang sudah menyumbang cerita, atau sekadar mampir di blog ini. Ada yang menanyakan nasib blog ini. Tentunya blog ini akan tetap ada, sebagai monumen kecil tentang 7 hari di Februari ketika gw dan teman-teman melakukan project ini. Bagi yang lain yang masih mau berbagi cerita, tentunya blog ini terbuka lebar bagi siapa saja 😀
Bagi yang mau berbagi kesan-kesan keseluruhan seminggu ini, yuk tulis di bagian komen di bawah 🙂